Hari Anti Narkoba Internasional (HANI) merupakan suatu peringatan internasional yang bertujuan untuk menyadarkan dan membangun solidaritas masyarakat dunia dalam mencegah serta memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba. Hari Anti Narkoba Internasional diperingati setiap tanggal 26 Juni atas keputusan konvensi PBB oleh United Nation Office on Drugs and Crime (UNODC) pada tanggal 7 Desember 1987. Kampanye masif tentang Pencegahan dan Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkoba (P4GN) akan mengisi hari peringatan ini sesuai dengan tema dan tujuan diperingatinya. Berhubungan dengan itu, Hari Anti Narkoba Internasional 2022 akan mengusung tema “Addressing drug challenges in health and humanitarian crises” atau “Mengatasi tantangan Narkoba dalam krisis kesehatan dan kemanusiaan.”
Dasar penetapan Hari Anti Narkoba Internasional adalah peristiwa pengungkapan kasus perdagangan opium oleh Lin Zexu, seorang pejabat China pada masa Dinasti Qing, pada tanggal 26 Juni 1839. Pada tanggal itu juga, menjadi hari terakhir Lin Zexu memusnahkan dan membuang opium ke laut yang sudah berlangsung selama 23 hari sejak tanggal 3 Juni 1839. Tak lama setelah peristiwa itu, kekaisaran China mengeluarkan kebijakan tentang larangan perdagangan opium yang pada periode 1839 hingga 1842 memicu Perang Opium pertama. Pihak Inggris menolak kebijakan tersebut karena dianggap sebagai bentuk penyitaan properti milik pribadi yang tidak benar. Alhasil, pada November 1839, pecahlah Perang Opium I dengan dimulainya penembakan kapal perang Tiongkok oleh Inggris. Melalui peristiwa ini, United Nation Office on Drugs and Crime (UNODC) memutuskan tanggal 26 Juni sebagai Hari Anti Narkoba Internasional untuk mengingatkan dan memperkuat aksi bebas narkoba pada masyarakat dunia.
Indonesia sebagai negara berkembang telah terjangkau oleh luasnya pengaruh dari narkoba yang tidak mengenal usia, tempat, waktu, tingkat sosial ekonomi, dan tingkat pendidikan. Hal ini bisa terjadi dikarenakan berbagai faktor, seperti kurangnya pengawasan pemerintah, masalah kemiskinan di perbatasan negara, dan kurangnya SDM berkualifikasi khusus narkotika. Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN), Komjen Pol. Petrus Reinhard Golose, mengatakan bahwa terjadi peningkatan prevalensi penggunaan narkoba di Indonesia secara umum pada tahun 2021. Dikatakan, terjadi peningkatan pada tahun 2019 – 2021 sebesar 0,15%, yaitu 1,80% menjadi 1,95% atau 3,41 juta jiwa menjadi 3,66 juta jiwa penduduk Indonesia. Meskipun angka ini masih di bawah angka UNODC, Kepala BNN menilainya sebagai hal yang memprihatinkan untuk Indonesia.
Selain itu, berdasarkan buku Indonesia Drugs Report Tahun 2021 oleh Puslitdatin BNN, nilai indeks nasional P4GN tahun 2020 mencapai 53,14. Angka ini berarti jika diasumsikan terjadi 100 kejadian penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba, hanya 53 kejadian saja yang mampu ditangani BNN. Lalu untuk persentase jumlah provinsi berdasarkan klasifikasi indeks P4GN, terdapat 55,88% provinsi yang berklasifikasi kurang efektif dan 44,12% provinsi yang berklasifikasi cukup efektif. Tercatat pula, terdapat 933 kawasan rawan narkoba di Indonesia dengan 397 kawasan tergolong bahaya dan 536 kawasan tergolong waspada.
Penggunaan narkoba sendiri diawasi ketat oleh Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) sehingga penggunaannya dapat terkendali hanya untuk kepentingan medis dan tujuan penelitian. Narkoba ataupun obat-obatan terlarang dalam bidang kesehatan digunakan sebagai obat anestesi atau obat bius untuk mengurangi rasa sakit dengan mempengaruhi tingkat kesadaran di otak. Narkoba di bidang kesehatan khususnya di lingkungan kedokteran gigi mampu dijadikan sebagai obat anestesi saat melakukan pembedahan seperti cabut gigi. Kandungan narkoba pada obat anestesi tersebut contohnya seperti morfin (narkotika golongan II) dan kodein (narkotika golongan III). Di samping pemanfaatan narkoba sebagai obat anestesi, narkoba sendiri lebih banyak memiliki dampak negatif pada kesehatan gigi dan mulut seperti xerostomia (mulut kering), gigi berlubang, penyakit gusi, atrisi gigi, dan meth mouth. Selain itu, penderita yang kecanduan narkoba akan mengalami depresi, halusinasi, dan cemas dimana penderitanya akan cenderung untuk mengerat gigi sehingga dapat menyebabkan penyakit bruxism dan kelainan pada sendi rahang.
Dengan adanya Hari Anti Narkoba ini, masyarakat diharapkan mampu meningkatkan kesadaran akan bahayanya penggunaan obat-obatan terlarang sehingga dapat menciptakan lingkungan masyarakat yang bebas akan narkoba. Selain itu, diperlukan juga peningkatan pengawasan akan ketepatan penggunaan narkoba serta dukungan dari pemerintah untuk dapat mempertegas tindakan secara hukum tentang penyalahgunaan narkoba dan promosi kesehatan ke berbagai wilayah guna meningkatkan tingkat kesehatan di Indonesia.