Dentistry Collaborative Updates
AESTHETIC IN DENTISTRY:
It’s More Than Beauty
A. The Significant Impact of Appearance to People Psychologically
Dalam masyarakat modern kita yang kompetitif, penampilan menjadi suatu hal penentu kehidupan seseorang. Bahkan, kesuksesan dan kegagalan turut dinilai berdasarkan faktor penampilan. Melalui fenomena globalisasi dan modernisasi, semua orang, baik pria maupun wanita, menjadi sangat sadar dan mementingkan penampilan mereka. Gigi dalam aspek bentuk, warna, susunan, serta posisi merupakan salah satu hal penting yang dapat memengaruhi daya tarik wajah dan senyum seseorang, khususnya saat berinteraksi sosial. Oleh sebab itu, banyak orang berusaha memperbaiki dental appearance-nya kepada dokter gigi. Terlebih, dengan adanya kemajuan alat, bahan, serta teknik pada kedokteran gigi, orang-orang menjadi lebih tertarik untuk melakukan perawatan aesthetic dentistry (Ajayi dkk., 2019; Manipal dkk., 2014).
Aesthetic dentistry merupakan penggabungan perawatan gigi dan/atau mulut dalam aspek estetika dan fungsi dengan nilai-nilai dan kebutuhan individu setiap pasien. Perawatan ini antara lain terdiri dari tindakan bleaching, tambalan komposit langsung, veneer tidak langsung, crown dan bridges, serta terapi implan yang kompleks. Dengan adanya peningkatan penampilan ini, seseorang akan menjadi lebih percaya diri. Selain melihat dari sisi estetika, perawatan aesthetic dentistry harus juga mempertimbangkan aspek fungsional gigi dan/atau mulut sebelum tindakan. Tidak sedikit pasien yang akan meminta perawatan murni untuk kosmetik, tanpa indikasi yang semestinya. Hal ini jelas bertentangan dengan tujuan aesthetic dentistry yang berupa tindakan invasif minimal terhadap gigi dan/atau mulut dengan tetap memperhatikan nilai estetikanya (Ahmad, 2021; Ajayi dkk., 2019).
Dalam sudut pandang psikologi, aesthetic dentistry ini cukup memengaruhi psikologis seseorang. Hal ini ditandai dengan menurunnya kepercayaan diri seseorang yang memilikiestetika gigi yang buruk cenderung lebih sering untuk menutup mulutnya. Penelitian terdahulu menyatakan bahwa orang-orang yang mempunyai gangguan estetika pada rongga mulutnya, seperti maloklusi, sering mendapat respons yang kurang menyenangkan dari orang lain sehingga dapat menimbulkan rasa rendah diri. Bentuk gigi sangat memengaruhi profil wajah sehingga dapat membuat penampilan wajah lebih indah atau malah lebih buruk (Mujiyati, 2022).
B. The Reason Behind Unfunded Aesthetical Dental Treatment in BPJS
Biaya merupakan salah satu hal yang menjadi kendala untuk melakukan tindakan kedokteran gigi khususnya dalam tindakan estetik. Menurut Regional Oral Health Strategy, penyakit gigi dan mulut merupakan penyakit termahal keempat untuk diobati dan seringkali memerlukan pembiayaan out of pocket yang tinggi. Saat ini masyarakat tidak dapat sepenuhnya bergantung pada fasilitas pelayanan kesehatan publik untuk memenuhi kebutuhan kesehatan gigi
dan mulutnya karena ketersediaan finansial, sarana, dan prasarana belum optimal. Hal ini mengakibatkan masyarakat cenderung mencari perawatan kesehatan gigi dan mulut dari praktisi tradisional dan penyedia pelayanan kesehatan yang ilegal. Tidak sedikit pula yang melakukan self medication (Darmawan dan Thabrany, 2017).
Pelayanan kesehatan adalah suatu upaya untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan, termasuk pelayanan kesehatan gigi dan mulut. Dalam rangka meningkatkan kesehatan nasional, pemerintah menyelenggarakan Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Sistem JKN menggunakan sistem pembayaran kapitasi dan skema rujukan berjenjang dimulai dari pelayanan primer sehingga mampu menapis pelayanan yang perlu dirujuk. Hal tersebut diharapkan mampu mengurangi beban kerja fasilitas kesehatan tingkat pertama sehingga mutu dan biaya pelayanan dapat dikendalikan (Darmawan dan Thabrany, 2017).
Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI) menetapkan bahwa pelayanan kedokteran gigi berada dalam strata pelayanan primer dan sekunder pada sistem JKN. Peserta BPJS Kesehatan mendapatkan pelayanan gigi di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama, maupun di Fasilitas Kesehatan Tingkat Lanjutan yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan. Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama terdiri atas puskesmas atau yang setara, praktik dokter/dokter gigi, klinik pratama atau yang setara, dan rumah sakit kelas D pratama atau yang setara. Pelayanan kedokteran gigi primer meliputi biaya administrasi pendaftaran, penyediaan dan pemberian surat rujukan ke faskes lanjutan, pemeriksaan medis, pengobatan medis, konsultasi medis, premedikasi, kegawatdaruratan oro-dental, pencabutan gigi sulung, pencabutan gigi permanen tanpa penyulit, obat pasca ekstraksi, tumpatan komposit, serta scaling gigi satu kali dalam setahun untuk setiap pasiennya. Berbagai pelayanan ditawarkan oleh JKN, tetapi masih mengarah pada tindakan kuratif dan rehabilitatif saja. Meskipun demikian, pelayanan primer dapat dimanfaatkan sebagai penunjang sebelum dilakukan tindakan estetik (Prasetya, 2019).
Terdapat beberapa kasus yang berkaitan dengan estetika dalam ilmu kedokteran gigi, salah satunya adalah ektopik kaninus. Ektopik kaninus merupakan keadaan dimana gigi akan mengalami erupsi diluar lengkung rahangnya. Prevalensi ektopik kaninus adalah sekitar 1,5-2% dari seluruh populasi yang berada di dunia. Ektopik kaninus dapat terjadi karena adanya variasi yang meluas dari faktor etiologi lokal, sistemik, dan genetik. Ektopik kaninus berkaitan erat dengan bidang ortodontik. Terdapat banyak pasien yang datang dengan keluhan gangguan estetika akibat adanya ektopik kaninus. Langkah pertama penanganan yang dapat dilakukan adalah pencabutan gigi premolar kedua karena tidak diperlukan perubahan profil. Selanjutnya dapat dilakukan dengan perawatan ortodontik dengan alat lepasan, cekat, maupun keduanya (Puspita dkk., 2015).
Dalam penanganannya, biaya masih menjadi salah satu kendala utama. Saat ini, Indonesia memberikan bantuan keringanan biaya dengan adanya BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) yang dapat digunakan oleh seluruh masyarakatnya. Namun, dalam bidang kedokteran gigi BPJS hanya menanggung beberapa biaya penanganan, seperti scalling atau pembersihan karang gigi, pencabutan gigi susu, pencabutan gigi permanen tanpa penyulit, dan perawatan syaraf gigi. Oleh karena itu, berkaitan dengan kasus impaksi kaninus terdapat pasien yang memberhentikan penanganan hingga tahap pencabutan gigi premolar kedua dan tidak dilanjutkan dengan perawatan ortodontik karena kendala biaya tersebut (Hasbula dan Indah, 2017).
C. Improving The Smile of Patients With Surgery
Dalam mencapai aesthetic in dentistry, perawatan yang dilakukan dapat merupakan kombinasi atau gabungan dari berbagai disiplin ilmu di kedokteran gigi, seperti contohnya kolaborasi antara bedah mulut dengan ortodonsia atau bisa juga dengan perawatan restoratif. Kemajuan ilmu klinis dan teknologi membuat kolaborasi ini bisa dilakukan. Tidak jarang dokter gigi spesialis bekerja sama dengan spesialisasi yang lain untuk melakukan suatu perawatan estetika ini. Hal ini tentu saja mempertimbangkan kesediaan pasien. Pada beberapa kasus, terdapat pasien yang tidak berkenan dilakukan perawatan ortodontik sehingga dokter gigi mengalihkan perawatannya menjadi perawatan restoratif (Afiati dan Santosa, 2015).
Ada beberapa kasus dalam kedokteran gigi yang bisa diatasi dengan lebih dari satu ilmu spesialisasi kedokteran gigi, salah satu contohnya adalah perawatan gummy smile. Gummy smile adalah gambaran kondisi gingiva yang terekspos atau terlihat secara klinis lebih dari 2-3 mm saat tersenyum. Etiologi kondisi gummy smile termasuk multifaktorial. Prevalensi kasus gummy smile ini sekitar 10-14% dan lebih banyak terjadi pada wanita. Tidak sedikit pasien yang mengeluhkan estetikanya terganggu akibat kasus ini (Feblina dan Thahir, 2021).
Menurut Profesor Ernie Setiawatie, prosedur terapeutik untuk kondisi gummy smile tergantung pada etiologinya sehingga diagnosis yang akurat bisa memberikan rencana perawatan yang tepat. Perawatan gummy smile bisa dilakukan secara bedah, dengan bedah ortognatik, gingivektomi, osteotomi, myotomi otot elevator, dan lip reposisi, dan secara nonbedah. Menurut Saptaswari dan Krismariono (2015), perawatan gummy smile dapat dilakukan dengan mengombinasikan perawatan periodontal dan ortodontik. Prosedur bedah lip reposisi dilakukan pada perawatan periodontal dan untuk mengatasi maloklusi dilakukan terapi ortodontik.
D. The Malpractice Beautician As A “Dentist”: Whom Should You Visit To Beautify Your Teeth?
Profesi dan pekerjaan di dunia pergigian terdiri dari beberapa, yaitu dokter gigi, terapis gigi dan mulut, tekniker gigi, dental hygienist, tukang gigi, ahli gigi, serta salon gigi. Menurut Permenkes 39/2014, tukang gigi adalah orang yang membuat gigi tiruan lepasan berbahan heat curing acrylic yang memenuhi standar kesehatan dan tidak menutup sisa akar gigi. Ahli gigi dan salon gigi bukan merupakan keahlian dan tidak memiliki definisi dalam peraturan manapun. Mereka dapat dikatakan sebagai praktik kedokteran gigi ilegal. Ahli gigi dan salon gigi tidak
memiliki izin untuk melakukan tindakan perawatan gigi karena tidak memiliki izin klinik. Berbagai perawatan gigi ilegal ini dapat menimbulkan risiko. Risiko yang ditimbulkan dapat berjangka pendek seperti adanya rasa nyeri pada gigi dan bau mulut serta berjangka panjang seperti kerusakan struktur gigi dan adanya gangguan kesehatan penyakit sistemik bahkan dapat menyebabkan kematian.
Akar permasalahan banyaknya masyarakat yang mencapai aesthetic dentistry dengan cara yang salah dapat berasal dari level tenaga medis dan nakes sendiri. Banyak oknum yang berprofesi di bidang kesehatan selain dokter gigi sehingga masyarakat menganggap bahwa tindakan yang dilakukan sudah kompeten dan legal. Selain itu, permasalahan ini dapat disebabkan di level keluarga yaitu wawasan orang tua masih minim terhadap aesthetic dentistry, di level sekolah yaitu tren aesthetic dentistry yang menyebar lebih cepat daripada ilmu pengetahuan, dan di level masyarakat yaitu penjualan alat dan bahan kedokteran gigi yang sulit dikendalikan, adanya influencer sesat yang dijadikan referensi oleh masyarakat, masyarakat mudah percaya oleh atribut dan sertifikat khusus, dan adanya pemalsuan gelar serta dokumen negara. Akar permasalahan juga berasal dari level penegak hukum dan negara yang belum tegas dalam mengatur oknum-oknum yang melakukan praktik gigi ilegal.
Berbagai alasan menjadi latar belakang masyarakat memutuskan perawatan gigi ke ahli gigi dan salon kecantikan gigi. Pendapatan, pengetahuan, dan aspek sosial budaya merupakan berbagai faktor yang memegang peranan penting terhadap minat masyarakat untuk melakukan perawatan gigi. Faktor mahalnya biaya perawatan ke dokter gigi, kurangnya informasi serta pengetahuan tentang perawatan gigi yang baik, dan persepsi masyarakat yang kurang tepat mengakibatkan mereka lebih memilih melakukan perawatan di salon kecantikan gigi ataupun
tukang gigi. Tak dapat dimungkiri bahwa tingkat pendidikan akan memengaruhi persepsi serta perilaku hidup sehat seseorang. Individu dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan lebih mudah mendapatkan informasi dan menerapkannya dalam perilaku serta gaya hidup terutama berkaitan dengan kesehatan. Di sisi lain, sosial budaya juga turut berpengaruh terhadap minat masyarakat untuk berkunjung ke tukang gigi. Masyarakat Indonesia yang berada di lingkungan yang erat dengan tetangganya biasanya akan cenderung mengikuti budaya yang ada di daerah
tempat tinggalnya karena akan merasa ter-influence oleh orang orang di sekitarnya (Pratama dkk., 2020).
E. CONCLUSION
Penampilan adalah hal yang sangat penting dan memengaruhi kondisi psikologis dari seseorang. Seseorang yang memiliki estetika dan oral hygiene yang buruk cenderung tidak percaya diri ketika bertemu dengan orang lain dan pada akhirnya memiliki perasaan rendah diri. Untuk mencapai kondisi yang estetik, dapat dilakukan perawatan berupa kombinasi dari berbagai ilmu di kedokteran gigi, seperti contohnya kolaborasi antara bedah mulut dengan ortodonsia atau bisa juga dengan perawatan restoratif agar hasilnya semakin maksimal, tetapi tetap memperhatikan kondisi dari pasien. Untuk melakukan perawatan estetik tentunya memerlukan biaya yang cukup banyak. Seperti yang diketahui, bahwa biaya adalah kendala terbesar ketika melakukan perawatan. Sayangnya, perawatan estetik gigi tidak bisa di-cover dengan BPJS karena bukan merupakan kebutuhan dasar. Hal tersebut merupakan salah satu alasan masyarakat untuk tidak pergi ke dokter gigi atau tenaga kesehatan gigi yang berkompeten karena terkendala
biaya. Banyak masyarakat yang justru pergi ke tukang gigi untuk melakukan perawatan estetik yang pada dasarnya tidak tahu mengenai kesehatan gigi dan mulut. Selain terkendala biaya, kurangnya informasi serta pengetahuan tentang perawatan gigi yang baik dan persepsi masyarakat yang kurang tepat mengakibatkan mereka lebih memilih melakukan perawatan di salon kecantikan gigi ataupun tukang gigi dibandingkan ke dokter gigi.