Pro Kontra Praktik Tukang Gigi

Dalam masyarakat Indonesia, fenomena tukang gigi masih cukup marak, terutama di daerah-daerah di mana akses ke layanan dokter gigi profesional masih terbatas. Masyarakat memilih tukang gigi karena alasan kemudahan akses dan biaya yang relatif rendah. Praktek mereka biasanya cepat dan terjangkau, terkadang jauh lebih murah dibandingkan layanan dokter gigi. Namun, banyak dari mereka tidak memiliki ijazah yang diakui oleh  Kementrian Kesehatan seperti halnya dokter  gigi, sehingga kompetensinya dipertanyakan.

Dari sisi hukum dan regulasi, Pasal 9 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 39 Tahun 2014 tentang Pembinaan, Pengawasan dan Perizinan, Pekerjaan Tukang Gigi, mengatur secara tegas bahwa tukang gigi dilarang melakukan pekerjaan selain dalam kewenangan berdasarkan pasal 6 ayat 2 Permenkes No 39 Tahun 2014. Terdapat pada pasal 6 yaitu tukang gigi hanya boleh membuat gigi tiruan lepasan sebagian dan / atau penuh yang terbuat dari bahan heat curing acrylic yang memenuhi persyaratan kesehatan, dan memasang gigi tiruan lepasan sebagian dan / atau penuh yang terbuat dari bahan heat curing acrylic dengan tidak menutupi sisa akar. Kewenangan tersebut berlaku dengan syarat memiliki Surat Tanda Terdaftar (STTG) dan diawasi oleh Dinas Kesehatan setempat. Namun, faktanya banyak tukang gigi yang melanggar batas kewenangan ini.  Sebagai contoh, sering ditemui sisa akar yang tidak dicabut, yang dapat menyebabkan inflamasi pada gingiva, oral hygiene yang buruk, serta denture stomatitis akibat adaptasi gigi tiruan yang kurang baik, veneer, dan tindakan lain yang menimbulkan potensi malpraktik dan berbahaya bagi kesehatan.

Selain memberikan layanan pembuatan gigi palsu, tukang gigi juga kerap menyediakan jasa pemasangan kawat gigi, meskipun hal ini melanggar hukum dan bertentangan dengan regulasi yang berlaku. Kurangnya pemahaman masyarakat mengenai perawatan gigi dan mulut yang tepat menjadi salah satu alasan mereka lebih memilih menggunakan jasa tukang gigi. Di samping itu, distribusi dokter gigi yang belum merata di seluruh wilayah Indonesia menyebabkan masyarakat di daerah lebih memilih tukang gigi karena akses yang lebih mudah, biaya yang lebih murah, dan proses yang cepat, meskipun mereka sering mengabaikan risiko jangka panjangnya.

Dari segi perlindungan hukum, masyarakat mendapat dua bentuk perlindungan: preventif, yakni hanya tukang gigi yang telah memiliki izin yang boleh berpraktik, dan represif, di mana konsumen bisa mengajukan gugatan jika dirugikan oleh praktik yang melanggar hukum. Namun, pengawasan oleh pihak berwenang masih lemah, dan banyak konsumen yang tidak menindaklanjuti secara hukum tindakan ilegal meski telah merasakan kerugian. Secara legal, praktik di luar kewenangan juga bisa berujung pada tuntutan pidana, terutama jika melibatkan kealpaan profesional seperti dalam layanan ortodonti, dengan konsekuensi sanksi pidana bagi pelakunya. Ketidaktepatan praktek dan lemahnya pengawasan memicu terjadinya penyimpangan kewenangan tukang gigi, yang sebagian besar disebabkan oleh faktor ekonomi masyarakat dan keterbatasan layanan kesehatan profesional.

Solusi: Pertama, memperkuat pengawasan dan perizinan oleh pemerintah dan Dinas Kesehatan; kedua, memberikan edukasi kepada masyarakat tentang risiko penggunaan layanan ilegal; ketiga, meningkatkan akses ke dokter gigi profesional, terutama di wilayah terpencil; serta keempat, memperbolehkan tukang gigi untuk mengikuti pelatihan resmi dan sertifikasi agar praktiknya lebih aman dan sesuai aturan.

Tanggapan dosen: Dr. drg. Rurie Ratna Shantiningsih., MD.Sc., Sp.RKG

Hati-hati tukang gigi menyasar rakyat kecil yang tidak teredukasi sehingga mudah tergiur dengan harga murah. Konsekuensi dari pekerjaan tukang gigi akan sangat merepotkan dokter gigi yang menangani karena mereka tidak didasari oleh ilmu yang mencukupi. Saya pernah punya pengalaman buruk mendapatkan pasien dengan gigi tiruan yang dibuat oleh tukang gigi. Sangat sulit dalam proses melepaskan gigi tiruan karena efek pemasangannya justru menyebabkan pembengkaan mukosa pada pasien. Tugas kita bukan melawan tukang gigi namun mengedukasi mereka supaya tindakannya tidak menyebabkan bahaya bagi masyarakat

Tanggapan mahasiswa: Yasintha Olivia Ariesta (PDG 2023)

Tentunya sebagai mahasiswa Kedokteran Gigi, membuka wawasanku mengenai praktek tukang gigi ini adalah hal yang menyimpang dari aturan, etika, serta standar pelayanan kesehatan yang benar. Praktek ini tidak didasari oleh kompetensi medis maupun izin resmi sehingga tindakan yang dilakukan memiliki resiko tinggi dan membahayakan. Keberadaan tukang gigi ini menurutku juga akan menyesatkan masyarakat dengan memberi rasa aman yang palsu terhadap perawatan gigi yang sebenarnya tidak layak. Mereka seolah menawarkan harga murah, tetapi resiko yang muncul justru bisa membuat pasien harus mengeluarkan biaya yang lebih tinggi untuk memperbaiki kerusakan yang ditimbulkan. Oleh karena itu penting bagi kita sebagai mahasiswa Kedokteran Gigi untuk berperan aktif dalam mengedukasi masyarakat agar sadar akan pentingnya perawatan gigi yang aman dan profesional.

 

Daftar Pustaka

Goeliling, A., 2023, Persepsi Kepuasan Masyarakat Pada Penggunaan Gigi Tiruan Berbahan

Resin Akrilik Yang Dibuat Oleh Tukang Gigi di Dusun Panimbu, Desa Lara,

Kecamatan Baebunta, Kabupaten Luwu Utara, Provinsi Sulawesi Selatan, Jurnal

Kesehatan Dental Teknik, 1(1): 1-8.

Ulyana, C. S., 2023, Pelaksanaan Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Pada Pelayanan

Kesehatan Gigi yang Dilakukan Oleh Tukang Gigi, Jurnal Ilmiah Mahasiswa Bidang Hukum Keperdataan, 7(1): 25-32.

Wirahadikusumah, A., dan Soenoe, H. R., 2025, Persepsi Masyarakat Terhadap Pembuatan

Gigi Tiruan Pada Tukang Gigi di Kecamatan Grogol Petamburan Jakarta Barat, Jurnal

Kedokteran Gigi Terpadu, 7(1): 23-27.

 

Departemen Advokasi dan Kajian Strategis
Kabinet Karya Cita
BEM KM FKG UGM

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *