The World Day for Safety and Health at Work

The World Day for Safety and Health at Work atau Hari Kesehatan dan Keselamatan Kerja sedunia diperingati setiap tanggal 28 April. Pada tahun ini, The World Day for Safety and Health at Work akan mengambil tema terkait partisipasi dan dialog sosial dalam menciptakan budaya keselamatan dan kesehatan kerja yang positif. Selama pandemi Covid-19 yang telah kita lalui hingga saat ini, K3 merupakan salah satu hal penting yang terus dilakukan di berbagai sisi kehidupan. Berbagai elemen masyarakat yang mencakup pemerintah, pengusaha, pekerja, pelaku kesehatan masyarakat dan semua pihak terkait di tingkat nasional dan perusahaan, telah memberikan partisipasi yang berarti dalam melindungi lingkungan kerja dan menjaga kesehatan dan keselamatan pekerja. Hal tersebut yang akan terus digalakkan dan akan terus diupayakan ke arah yang lebih baik pada peringatan The World Day for Safety and Health at Work pada tahun 2022 (ILO, 2022).

Sesuai dengan PP 50 Tahun 2012 tentang Penerapan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja, Kesehatan dan Keselamatan Kerja atau yang biasa disebut dengan K3 adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi keselamatan dan kesehatan tenaga kerja melalui upaya pencegahan kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja. Kesehatan dan Keselamatan Kerja tidak hanya berlaku di ranah pekerjaan konstruksi, tetapi juga berlaku di ranah kesehatan. Hal tersebut terbukti dengan adanya regulasi yang mengatur tentang sistem kesehatan dan keselamatan kerja di rumah sakit, yaitu Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 66 Tahun 2016 tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja Rumah Sakit. Dalam panduan tersebut, tercantum pedoman dan panduan mengenai penerapan sistem manajemen K3 di rumah sakit. Permenkes No.66 Tahun 2016 tidak hanya berfokus pada patient safety, tetapi juga mengatur terkait keselamatan seluruh manusia yang berada di lingkup rumah sakit (Supriyadi, 2017).

Perkonsil 74 Tahun 2020 tentang Kewenangan Klinis dan Praktik Kedokteran Melalui Telemedicine pada Masa Pandemi Covid-19 merupakan salah satu bentuk nyata dasar hukum sebagai upaya perlindungan bagi seluruh tenaga kesehatan pada praktik kedokteran gigi. Terdapat pula dasar hukum berupa Himbauan Dirjen Yankes No. YR.03.03/III/1 18/2020 tentang Himbauan Tidak Praktik Rutin kecuali Emergensi. Kedua dasar hukum tersebut memberikan opsi bahwa dokter gigi dapat menggunakan telemedicine sebagai kewenangan tambahan yang dilakukan pada pasien dalam kondisi tidak darurat. Tingginya risiko penularan virus Covid-19, ketidaknyamanan penggunaan APD yang super ketat, peningkatan biaya karena tuntutan penggunaan APD, dan adanya peraturan baru untuk mencegah terjadinya penyakit akibat kerja menjadi pertimbangan untuk tidak melakukan praktik rutin pada saat pandemi Covid-19. Pada dasarnya, sebenarnya praktik kedokteran gigi tetap dapat dilaksanakan dengan memenuhi ketentuan legal formal. Ketentuan regulasi khusus pandemi dapat dijadikan pedoman dalam pelaksanaanya. Teknis pelaksanaannya disesuaikan dengan pedoman dan himbauan yang dikeluarkan oleh ikatan profesi (PB PDGI).

Setiap pekerjaan memiliki risiko yang berbeda, begitu pula di bidang kedokteran gigi. Bahaya yang dapat terjadi pada seorang dokter gigi, antara lain pajanan terhadap agen penyebab infeksi, radiasi, kebisingan, gangguan muskuloskeletal, masalah psikologis, dan lain-lain. Oleh karena itu, perlu adanya hierarki pengendalian bahaya supaya risiko keselamatan dan kesehatan kerja dapat terkendali. Hierarki pengendalian bahaya yang dimaksud, yaitu eliminasi, substitusi, rekayasa engineering/pengendalian teknik, administrasi, dan penggunaan alat pelindung diri (APD). Eliminasi adalah langkah pertama pengendalian yang paling efektif untuk mengendalikan pajanan sebab dapat menghilangkan bahaya dari tempat kerja. Contoh tindakan eliminasi adalah menghentikan penggunaan zat kimia beracun dan menghilangkan pekerjaan monoton yang dapat menjadi sumber stres negatif. Substitusi adalah upaya penggantian bahan, alat, atau cara kerja dengan alternatif lain dengan risiko bahaya lebih rendah supaya dapat mengurangi peluang terjadinya dampak yang serius. Contoh substitusi ialah mengganti tensi air raksa dengan tensi digital dan mengganti kompresor tingkat kebisingan tinggi dengan tipe kompresor dengan kebisingan rendah. Tahapan rekayasa teknik dilakukan dengan mengendalikan rekayasa desain alat atau tempat kerja. Contohnya adalah pemakaian pelindung mesin pada alat dengan tingkat kebisingan tinggi, pengaturan sistem ventilasi, dan penyekatan ruangan. Pengendalian administrasi merupakan pengendalian yang dilakukan oleh pekerja, dalam hal ini dokter gigi. Jenis pengendalian ini dapat berupa adanya standar operasional prosedur (SOP), pelatihan, pengawasan, modifikasi perilaku, jadwal kerja, dan jadwal istirahat. Alat pelindung diri (APD) atau personal protective equipment (PPE) adalah peralatan keselamatan untuk melindungi diri dari potensi bahaya kecelakaan kerja. Alat pelindung diri ini terbagi menjadi pelindung mata dan wajah, pelindung pernapasan, pelindung kepala, pelindung kaki, pelindung tangan, pelindung pendengaran, pelindung tubuh, dan sabuk pengaman (Juliatri, 2020).

Keselamatan kerja bagi dokter gigi pada masa pandemi ini kian menurun. Hal tersebut sesuai dengan data dari Putra dan Kasiwi (2020), yang menyatakan bahwa di antara semua tenaga kesehatan yang terinfeksi virus Covid-19, 40,9% di antaranya adalah dokter gigi. Tingginya persentase kejadian infeksi virus Covid-19 pada dokter gigi disebabkan adanya risiko besar pada pelayanan kesehatan gigi dan mulut. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya objek antara pasien dan petugas kesehatan gigi yang berdekatan dengan virus penyebab . Tetesan air liur pasien, penggunaan aerosol, serta sirkulasi udara yang buruk merupakan beberapa contoh keterkaitan yang tidak dapat terpisahkan dari prosedur kedokteran gigi. Oleh karena itu, praktik kedokteran gigi disebut-sebut memiliki risiko tertinggi penularan . Perlu adanya kesesuaian dalam penggunaan alat pelindung diri (APD), administrasi kantor, dan prosedur yang dilakukan dalam mengurangi risiko penularan infeksi virus mengingat hal tersebut merupakan komponen integral dari perawatan gigi. Dari uraian tersebut, dokter gigi dituntut untuk mengikuti protokol yang ketat dan sesuai saat memberikan perawatan kepada pasien (Putra dan Kasiwi, 2020).

Bagi mahasiswa kedokteran gigi sendiri, pandemi ini sudah merenggut sebagian praktik yang secara terpaksa dilakukan secara online sehingga sebagian mahasiswa kurang bisa menguasai keterampilan kedokteran gigi dengan maksimal. Di sisi lain, turut timbul kecemasan di benak mahasiswa kedokteran gigi akan tuntutan profesi yang akan dilakukan nantinya. Tentu saja hal ini harus dimaklumi karena adanya tuntutan untuk menjaga keselamatan dari paparan virus Covid-19. Akan tetapi, K3 yang biasanya sering disepelekan menjadi hal yang sangat penting bahkan menjadi salah satu requirement yang perlu disiapkan sebelum melakukan kegiatan yang berhubungan dengan klinis kedokteran gigi. Melalui adanya pandemi ini, mahasiswa dituntut untuk membiasakan diri untuk selalu mengikuti protokol kesehatan dan prosedur yang ada walaupun terdapat ketidaknyamanan ketika menggunakan beberapa perlengkapan, seperti APD. Selain itu, mahasiswa lebih menyadari akan pentingnya kewaspadaan dan kesterilan seorang dokter gigi dalam pekerjaannya akibat tingginya risiko dokter gigi terpapar virus Covid-19. Ketertarikan mahasiswa dalam ilmu-ilmu semasa kuliah yang berhubungan dengan K3 pun turut meningkat sebagai imbas dari eratnya hubungan antara dokter gigi dengan risiko paparan virus ini.

Leave a Reply

Your email address will not be published.