KAJIAN PERINGATAN HARI HAK ASASI MANUSIA

Hak Asasi Manusia adalah hak pokok atau hak dasar yang dibawa oleh manusia sejak lahir yang secara kodrati melekat pada setiap manusia dan tidak dapat diganggu gugat karena merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa, dengan kata lain, HAM merupakan penghargaan terhadap derajat dan martabat manusia yang merupakan pengakuan yang nyata bahwa manusia adalah manusia. Hak Asasi Manusia (HAM) ada sejak manusia diciptakan, karena syarat untuk memiliki HAM hanya satu, yakni adanya manusia (Aswandi & Roissah, 2019). Asal-usul
gagasan mengenai hak asasi manusia bersumber pada teori hak kodrati (natural rights theory). Ahli hukum Belanda bernama Hugo de Groot yang dinobatkan sebagai “Bapak Hukum Internasional” mengembangkan teori hukum kodrati menjadi pemikiran sekuler yang rasional. Berdasarkan pemikiran tersebut, seorang kaum terpelajar bernama John Locke mengajukan gagasan mengenai teori hak-hak kodrati yang melandasi munculnya revolusi hak dalam revolusi yang terjadi di Inggris Amerika Serikat, dan Perancis pada abad ke-17 dan ke-18.

Dalam bukunya yang berjudul “The Second Treatise of Civil Government and a Letter Concerning Toleration”, Locke mengajukan sebuah postulasi pemikiran bahwa semua individu dikaruniai oleh alam hak yang melekat atas hidup, kebebasan dan kepemilikan, yang merupakan milik mereka sendiri dan tidak dapat dicabut oleh negara. Namun, gagasan mengenai hak asasi manusia menimbulkan banyak kontroversi dan kritik. Seorang filsuf utilutarian dari Inggris bernama Jeremy Bentham merupakan salah satu penentang teori hak kodrati. Dirinya menganggap bahwa teori hak-hak kodrati itu tidak bisa dikonfirmasi dan diverifikasi kebenarannya. Namun, kecaman dan penolakan dari kalangan utilitarian tersebut tidak membuat teori hak-hak kodrati ditinggalkan begitu saja. Hak kodrati kembali dibangkitkan pada masa akhir Perang Dunia II. Gerakan untuk menghidupkan kembali teori hak kodrati inilah yang mengilhami kemunculan gagasan hak asasi manusia di panggung internasional (Smith, dkk., 2008).

Didirikannya PBB pada tanggal 24 Oktober 1945 setelah Perang Dunia II yang memakan banyak korban jiwa membuat masyarakat global sadar dan tidak ingin mengulang terjadinya peperangan yang merampas hak manusia. Momen tersebut juga menjadi penegasan terhadap kesetaraan laki-laki dan perempuan serta kesetaraan negara besar dan kecil. Sejak saat itu, masyarakat dunia sepakat menjadikan hak asasi manusia sebagai suatu tolok ukur pencapaian bersama bagi semua rakyat dan bangsa (“a commond standard of achievement for all peoples and all nations”). Hal tersebut ditandai dengan diterimanya suatu rezim hukum hak asasi manusia internasional yang disiapkan oleh PBB oleh masyarakat dunia yang kemudian dikenal sebagai “International Bill of Human Rights” (Smith, dkk., 2008).

Berdasarkan penjelasan diatas dapat diketahui bahwa peringatan Hari HAM Sedunia berawal dari kekejaman Perang Dunia ke-II (1939-1945) yang memberikan pelajaran penting bagi masyarakat dunia. Agar tragedi serupa tidak terulang kembali, Majelis Umum PBB menyepakati Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM). Pada 10 Desember 1948, DUHAM diadopsi oleh Majelis Umum PBB. Kemudian pada tanggal 10 Desember 1950, Majelis Umum PBB menerbitkan resolusi 423 yang berisi himbauan bagi semua negara anggota dan organisasi PBB untuk setiap tahunnya mengingat 10 Desember sebagai Hari HAM Internasional.

Di Indonesia, HAM mulai muncul dan berkembang sejak sebelum kemerdekaan. Sebelum kemerdekaan, organisasi-organisasi pergerakan nasional muncul seperti Budi Utomo yang memberikan kebebasan berpikir dan menyuarakan kemerdekaan berpendapat, serta menentukan nasib sendiri. Perhimpunan Indonesia yang lahir di tengah mahasiswa Indonesia yang sedang belajar di Belanda, melahirkan konsep HAM untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia di aspek Hak Asasi Manusia. Sarekat Islam yang memperjuangkan penghidupan yang
layak serta terbebas dari penindasan diskriminasi dan kolonialisme. Partai Komunis Indonesia (PKI) yang mempunyai landasan untuk memperjuangkan hak dalam bidang sosial. Indische Partij atau Partai Nasional Indonesia juga memperjuangkan hak untuk mendapat kemerdekaan dari para penjajah, dan organisasi-organisasi lainnya. Sedangkan setelah kemerdekaan, terdapat beberapa hal yang masih diperdebatkan seperti hak untuk merdeka, hak berorganisasi dalam politik, dan hak berpendapat dalam parlemen. Oleh karena itu, Indonesia merumuskan UUD 1945 pasal 28 yang di dalamnya terdapat jaminan hak para rakyatnya untuk berserikat,
berkumpul, dan menyampaikan pendapat.

Pada orde lama, Indonesia mengikuti dua konvensi HAM internasional, yaitu Konvensi Jenewa 1949 yang berbicara mengenai hak bagi korban perang, tawanan perang, serta perlindungan sipil saat perang dan Konvensi hak politik perempuan yang membicarakan tentang hak perempuan tanpa diskriminasi dan hak perempuan untuk mendapatkan jabatan publik. Namun, pada 5 Juli 1959, Soekarno selaku presiden Indonesia saat itu mengeluarkan dekrit presiden yang berdampak pada pembatasan kebebasan berpendapat, berkumpul, dan menyampaikan pikiran dengan tulisan.

Pada orde baru, perkembangan HAM tidak mengalami kemajuan karena pemerintah orde baru berusaha menolak konsep HAM yang telah dibentuk sebelumnya. Beberapa alasannya adalah karena HAM merupakan konsep pemikiran dari Barat dan dianggap bertolak belakang dengan nilai-nilai budaya Bangsa Indonesia dan dasar negara Pancasila. Pemerintah beranggapan bahwa permasalahan mengenai HAM yang berasal dari negara Barat mampu menjadi senjata yang tak terlihat untuk memojokkan negara berkembang seperti Indonesia. Namun faktanya,
pelanggaran HAM banyak terjadi pada orde baru. Contoh kasusnya seperti G30SPKI, Peristiwa Tanjong Priok, Kasus Kedung Ombo, dan kasus lainnya. Indonesia tetap mengikuti beberapa konvensi HAM seperti, Konvensi tentang penghapusan bentuk diskriminasi terhadap perempuan, dijelaskan dalam UU No. 7 tahun 1984. Konvensi anti-apartheid, ada dalam UU No. 48 tahun 1993 serta Konvensi Hak Anak yang tertuang dalam Keputusan Presiden No.36 tahun 1990.

Setelah masa orde baru berlalu dan memasuki era reformasi, perkembangan HAM maju sangat pesat ditandai dengan TAP MPR No. XVII/MPR/1998 tentang HAM yang berisi tentang Piagam Hak Asasi Manusia, amanat kepada presiden dan lembaga-lembaga tinggi negara untuk memajukan perlindungan HAM termasuk untuk meratifikasi instrumen-instrumen internasional HAM. Amandemen UUD 1945 juga dilakukan guna menjamin Hak Asasi Manusia pada Agustus tahun 2000. Dalam Bab XA terdapat 10 pasal yang berisi tentang HAM dari pasal 28A sampai 28J. Ketetapan tentang HAM juga tertuang dalam Undang-Undang No. 39 tahun 1999 yang
mempertegas mengenai jaminan dan perlindungan HAM di Indonesia. Hak asasi manusia yang dianut Indonesia berlandaskan pada Pancasila dan UUD 1945 sehingga konsep HAM di Indonesia bertumpu pada hak moril hidup masyarakat yang bebas sebagai makhluk individu dan makhluk Tuhan tetapi tidak meninggalkan kewajiban sosial yaitu adil dan beradab. Konsep dasar hak asasi manusia bangsa Indonesia sudah diruntutkan sejak Proklamasi Kemerdekaan, Pembukaan UUD 1945, UUD 1945, Pancasila, hingga Undang-Undang. Oleh karena itu, UUD 1945 merumuskan beberapa HAM, yaitu:

  1. Hak atas kedudukan yang sama atas hukum dan pemerintahan yang terkandung dalam UUD
    1945 pasal 2 ayat 1.
  2. Hak mendapatkan penghidupan yang layak yang terkandung dalam UUD 1945 pasal 27 ayat
    2.
  3. Hak atas kebebasan berserikat dan berkumpul yang terkandung dalam UUD 1945 pasal 28.
  4. Hak atas kebebasan mengeluarkan pendapat yang terkandung dalam UUD 1945 pasal 28.
  5. Hak atas kebebasan memeluk agama yang terkandung dalam UUD 1945 pasal 29 ayat 2.
  6. Hak untuk mendapatkan pengajaran yang terkandung dalam UUD 1945 pasal 31.

Selain itu, terhadapat hak lain yang diakui oleh UUD 1945, yaitu:

  1. Hak yang berlaku dalam sengketa bersenjata yang terkandung dalam UUD 1945 pasal 11
    ayat 12 dan 30.
  2. Hak atas pembelaan diri yang terkandung dalam UUD 1945 pasal 30.
  3. Hak atas perutusan yang terkandung dalam UUD 1945 pasal 13.

Tidak hanya dalam UUD 1945, HAM juga terkandung dalam keputusan perundang-undangan lainnya yang dapat terus berkembang dan terbaharui. Sebagai contoh, yaitu:

  1. Undang-Undang RI No. 29 Tahun 2000 secara khusus membahas HAM yang berisikan
    tentang HAM sebagai ciptaan Tuhan, manusia sebagai makhluk sosial, dan manusia sebagai
    warga negara.
  2. Keputusan Presiden RI No. 181 Tahun 1998 tentang Komisi Nasional Anti Kekerasan
    terhadap Perempuan.
  3. Undang-Undang RI No. 5 Tahun 1998 tentang Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan dan Pelaksanaan atau Penghukuman Lain yang Kejam, tidak manusiawi atau
    merendahkan martabat manusia.
  4. Keputusan Presiden RI Nomor 129 Tahun 1998 tentang Rencana Aksi Nasional HAM.

Penegakan HAM di Indonesia saat ini masih memiliki beberapa persoalan dan juga tantangan. Dilansir dari Komnasham.go.id, dalam diskusi yang digagas oleh Human Rights Working Group (HRWG), Komisioner Pendidikan dan Penyuluhan Komnas HAM, Beka Ulung Hapsara, menyampaikan bahwa terdapat banyak faktor yang menjadi pendorong persoalan pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia hingga sampai saat ini, antara lain:

  1. Banyaknya peraturan yang tidak diimbangi dengan penguatan kebijakan perlindungan
    HAM dan sosial, terbukti dengan eksisnya regulasi yang tidak sesuai dengan prinsip hak
    asasi manusia.
  2. Lemahnya kemampuan institusi negara dalam hal penghormatan, perlindungan dan
    pemenuhan HAM.
  3. Rendahnya kepatuhan hukum dan budaya aparat dalam penghormatan dan perlindungan
    HAM serta minimnya pemahaman aparat negara pada pendekatan dan prinsip hak asasi
    manusia.

Dalam diskusi yang digelar oleh Panitia Seleksi (Pansel) Anggota Komnas HAM RI yang bekerja sama dengan Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Wahyudi Djafar juga menyampaikan identifikasinya mengenai tantangan Komnas HAM RI dalam lima tahun mendatang dalam penegakan HAM di Indonesia, antara lain:

  1. Penyelesaian pelanggaran HAM.
    Tantangan mengenai kelanjutan proses penyelesaian pelanggaran HAM yang berat agar tak tidak kembali terulang.
  2. Menyempitnya ruang demokrasi dan kebebasan sipil.
    Menyempitnya ruang demokrasi dan kebebasan sipil sebagai dampak erosi demokrasi membuat diperlukannya penguatan partisipasi politik secara lebih bermakna, agar tidak terjebak dalam proseduralisme.
  3. Meluasnya krisis ekologis sebagai dampak perubahan iklim dan pembangunan eksploitatif yang berdampak pada kian menyempitnya ruang hidup (hak ekonomi dan sosial).

Selain itu, faktor-faktor lainnya seperti intoleransi, ekstrimisme, kekerasan, diskriminasi dan konfik dinilai akan masih menjadi persoalan dan tantangan dalam penegakan HAM di Indonesia.

Walaupun penegakan HAM di Indonesia masih memiliki segudang persoalan dan juga tantangan, momentum peringatan Hari HAM kali ini diharapkan dapat menjadi momentum kita untuk membangkitkan semangat dalam penegakan HAM di Indoenesia, khususnya bagi kalangan mahasiswa yang dinilai memiliki tingkat intelektualitas yang tinggi dan dinilai mampu menjadi sebagai agen perubahan. Terdapat beberapa cara yang dapat dilakukan oleh mahasiswa untuk membatu penegakan HAM di Indonesia seperti, aktif dalam mengawal kebijakan di lingkungan
kampus maupun negara agar setiap kebijakan yang dihasilkan sesuai dengan prinsip hak asasi manusia, berani menyampaikan pendapat dengan cara yang benar (tidak menimbulkan anarkisme), melaporkan adanya pelanggaran HAM yang terjadi di lingkungan sekitarnya, menjunjung tinggi sikap toleransi, persatuan dan kesatuan serta mendukung negara dalam upaya menindak tegas para pelaku pelanggaran HAM.

Leave a Reply

Your email address will not be published.