Rancangan undang-undang (RUU) merupakan undang-undang yang baru diusulkan dan belum disahkan oleh presiden. Menurut pasal 20 UUD 1945 yang berbunyi : Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang. Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama. DPR telah resmi mengirimkan draf RUU Kesehatan kepada pemerintah untuk dibahas setelah RUU tersebut disahkan sebagai inisiatif pada sidang paripurna bulan Februari lalu. RUU Kesehatan akan menggabungkan 13 UU yang berkaitan dengan kesehatan. Menurut Ketua Badan Legislasi DPR RI, Supratman Andi Agtas, tujuan utama dari RUU Kesehatan Omnibus Law adalah meningkatkan akses terhadap layanan kesehatan, meningkatkan kualitas kesehatan, dan menurunkan biaya kesehatan di Indonesia. Rancangan undang-undang ini juga akan membentuk kerangka regulasi baru untuk sektor kesehatan, termasuk pembentukan badan asuransi kesehatan nasional. Namun, apakah sudah efektif ?
Nasib dari RUU Kesehatan ini tidak berjalan sepenuhnya mulus. Mulai muncul pasal-pasal yang dinilai kontroversial dalam dunia kesehatan. Hal kontroversial tersebut ialah :
- Wacana Penghapusan Peran Organisasi Profesi dalam Pengawasan, Pembinaan, Penerbitan Rekomendasi dari Surat Izin Praktik (SIP). Hal ini menjadikan praduga peran organisasi profesi menghilang.
- RUU Omnibus law bertujuan menggabungkan, merampingkan, dan mengatasi tumpang tindih regulasi, tetapi UU Kesehatan sebagian besar bersifat homogen dan minim kompleksitas, heterogenitas, dan kontradiksi.
- RUU Omnibus law menjadikan kekuasaan menjadi tersentralisasi pada peran pemerintah dalam hal ini diwakilkan oleh menteri/pemerintah pusat atau pemerintah daerah.
Wacana penghapusan peran organisasi profesi menimbulkan kontroversi di kalangan organisasi profesi sebab pembentukan organisasi profesi merupakan salah satu implementasi dari hak dan kebebasan setiap warga negara untuk berserikat dan berkumpul sebagaimana telah disebutkan dalam UUD 1945. Organisasi profesi beranggapan penghapusan tersebut melanggar hak para anggotanya. Penghapusan peran organisasi profesi dalam pengawasan, pembinaan, dan penerbitan rekomendasi Surat Izin Praktik (SIP) juga menimbulkan kontra sebab kebutuhan akan tenaga kesehatan pada masing-masing daerah akan sulit terpenuhi.
Selain wacana penghapusan peran organisasi profesi, pasal 326 dan 327 RUU Kesehatan juga menimbulkan perselisihan dan kontroversi.
Kedua pasal tersebut bisa dimanfaatkan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab untuk kepentingan pribadi dan merugikan para tenaga kesehatan. Misalnya, dengan sengaja menuntut tenaga kesehatan di pengadilan atas kesalahan atau kerugian yang sebenarnya tidak terjadi atau sengaja dibuat-buat oleh pasien agar pasien mendapatkan keuntungan berupa uang ganti rugi yang mereka tuntut. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan sebagaimana disebutkan pada pasal 327 pun dapat merugikan para tenaga kesehatan sebab reputasi mereka akan dicap buruk oleh masyarakat. Oleh sebab itu, kedua pasal ini dianggap sebagai bumerang bagi tenaga kesehatan dan disebut dengan “pasal karet”.
Di samping banyaknya kontroversi RUU Kesehatan, terdapat beberapa manfaat dari RUU Kesehatan bagi para dokter dan tenaga kesehatan, yakni sebagai berikut:
- RUU Kesehatan Omnibus Law meningkatkan efisiensi pembiayaan kesehatan, meningkatkan produksi tenaga medis, dan tenaga kesehatan yang berkualitas serta mewujudkan digitalisasi sistem kesehatan dan inovasi teknologi kesehatan.
- RUU Kesehatan Omnibus Law mempermudah perizinan, pendirian program studi kedokteran, pendorongan pendidikan dokter spesialis yang murah serta transparan, dan distribusi fasilitas kesehatan yang lebih merata, terutama di Pulau Jawa.
- RUU Kesehatan Omnibus Law memberikan perlindungan hukum untuk para dokter dan tenaga kesehatan dalam menjalankan tugas mereka, dimana di UU sebelumnya tidak ada.
Walaupun RUU Kesehatan ini memiliki sisi positif, terutama kepada pasien, RUU Kesehatan tetap dinilai kontroverisal karena adanya wacana penghapusan peran organisasi profesi dalam pengawasan, pembinaan, dan penerbitan rekomendasi Surat Izin Praktik (SIP), serta menjadikan kekuasaan tersentralisasi pada pemerintah pusat. Organisasi profesi beranggapan penghapusan tersebut melanggar hak para anggotanya. Selain itu, pasal 326 dan 327 RUU Kesehatan dianggap sebagai “pasal karet” karena dapat menjadi bumerang yang merugikan para tenaga kesehatan.