Hari Kesehatan Gigi Nasional

Tanggal 12 September merupakan peringatan Hari Kesehatan Gigi dan Mulut sedunia. Tanggal ini dipilih berdasarkan sidang umum FDI World Dental Federation pada tanggal 26 Oktober 2007 di Dubai atas pertimbangan piagam Alma Ata yang dihasilkan oleh Konferensi Internasional WHO pada tanggal 12 September 1978 dan sebagai bentuk penghormatan kepada pendiri FDI World Dental Federation, Dr. Charles Godon, yang lahir pada tanggal 12 September 1854. Peringatan Hari Kesehatan Gigi dan Mulut di Indonesia sendiri baru pertama kali digagas pada tahun 2011 oleh Menteri Kesehatan Republik Indonesia, dr. Endang Rahayu Sedyaningsih.

Peringatan Hari Kesehatan Gigi dan Mulut Indonesia bertujuan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat Indonesia terhadap pentingnya perilaku menjaga kesehatan gigi dan mulut sehingga tercapai kesehatan umum dan sosial. Lantas, bagaimana kondisi kesehatan gigi dan mulut masyarakat Indonesia? Apakah tujuan dari Hari Kesehatan Gigi dan Mulut Nasional sudah tercapai?

Menurut Riskesdas 2018, persentase penduduk Indonesia yang memiliki masalah gigi dan mulut adalah 57,6%. Dari angka tersebut, hanya sedikit penduduk Indonesia (10,2%) yang mendapat perawatan oleh tenaga medis gigi, sedangkan mayoritasnya (42,2%) lebih memilih untuk melakukan pengobatan pribadi dalam menangani masalah kesehatan gigi dan mulut. Kasus permasalahan kesehatan gigi dan mulut penduduk Indonesia pun beragam, tetapi semuanya itu tetap memerlukan penanganan dari tenaga medis gigi yang terlatih. Berikut paparan grafik terkait proporsi masalah kesehatan gigi dan mulut di Indonesia pada tahun 2018.

Berdasarkan data banyaknya masalah kesehatan gigi dan mulut di Indonesia, perlu ditingkatkannya fasilitas penunjang untuk menangani permasalahan tersebut. Mengapa hal tersebut diperlukan? Menurut pernyataan Aulia dkk. (2017), terdapat tuntutan dari masyarakat terhadap perbaikan kualitas pelayanan semakin tahun menjadi semakin besar. Oleh karena itu, terdapat hubungan antara kualitas pelayanan baik secara sarana dan prasarana maupun kualitas ketenagakerjaan terhadap kepuasan pasien. Semakin baik kualitas pelayanan kesehatan gigi dan mulut, maka kepuasan pasien makin meningkat.

Menurut data Rifaskes 2011, dari 8.980 Puskesmas, hanya terdapat 5.439 Puskesmas yang mempunyai dokter gigi. Secara nasional, sebanyak 47,4% Puskesmas hanya mempunyai 1 dokter gigi dan 13,2% Puskesmas mempunyai lebih dari 2 dokter gigi. Sementara itu, Puskesmas yang memiliki kelengkapan alat kesehatan untuk poli gigi hanya sebesar 32,2%. Puskesmas yang dilengkapi dengan poli gigi minimal harus menyediakan peralatan medik gigi dasar, alat habis pakai, obat-obatan, serta peralatan lain yang mendukung. Pengadaan peralatan tersebut bisa berasal dari dana APBN maupun APBD oleh pemerintah daerah setempat (provinsi atau kabupaten/kota). Akan tetapi, sejak adanya keputusan menteri dalam negeri, maka pemerintah provinsi pun sudah tidak memiliki kewajiban dan wewenang pengadaan tersebut. Berdasarkan hal itu, dapat dijadikan bahan masukan untuk program kesehatan gigi dan mulut Kementerian Kesehatan dalam menyusun perencanaan dan pengembangan pengadaan alat kesehatan gigi dan mulut dalam menanggulangi masalah kesehatan gigi dan mulut di fasilitas pelayanan kesehatan dasar (Puskesmas).

Kekurangan dan distribusi tenaga kesehatan masih menjadi dilema bagi semua negara di dunia, baik negara maju maupun berkembang. Pada tahun 2006, WHO menyatakan bahwa ada kebutuhan akan tenaga kesehatan di dunia, seperti yang ditunjukkan dalam Laporan Kesehatan Dunia. Pada tahun 2035, diperkirakan kebutuhan tenaga kesehatan akan mencapai 12,9 juta orang. Rasio ideal dokter gigi per 10.000 penduduk adalah 5:10.000, tetapi nyatanya banyak negara di dunia yang belum mampu mencapai rasio ideal tersebut. Di Asia Tenggara, persentase dokter gigi Indonesia masih kalah dengan Singapura, Malaysia, Thailand, dan Laos. Berdasarkan Rekam Kesehatan Indonesia 2019, jumlah dokter gigi di Puskesmas sebanyak 8.329 dan masih terdapat disparitas jumlah dokter gigi antar provinsi. Rendahnya jumlah dokter gigi mungkin disebabkan oleh rendahnya jumlah Fakultas Kedokteran Gigi (FKG) di Indonesia. Selain ketersediaan FKG, faktor yang juga mempengaruhi ketersediaan tenaga medis di suatu lokasi ialah tingkat perkembangan di area, kepuasan kerja termasuk remunerasi, beban kerja, intensitas pelatihan, lingkungan kerja, dan kesadaran keselamatan di tempat kerja (Irfan dan Wibowo, 2021).

Untuk mengatasi masalah yang terus-menerus ini, WHO merekomendasikan untuk memperkenalkan/ menginisiasi mahasiswa kedokteran untuk berpartisipasi dalam program/ acara yang diadakan di desa-desa. Dalam pelaksanaan program pendidikan pedesaan, Republik Demokratik Kongo (DRC) periode 2018 – 2020 telah melakukan hegemoni atas sekolah perawat dengan menempatkan 583 siswa di 16 pedesaan. Dalam prosesnya, membutuhkan kerjasama berbagai pihak, misalnya Kementerian Kesehatan, Kementerian Keuangan, organisasi profesi, institusi pendidikan kesehatan, siswa & orangtua siswa pada menyiapkan kurikulum, menyiapkan loka praktik pada desa, penilaian/ assessment sasaran lokasi, akses, keamanan, & akomodasi selama penempatan. Selain itu, saat ini PDGI sedang merencanakan program internship bagi mahasiswa yang lolos UKMP2DG. Melalui program ini, mahasiswa FKG yang telah lulus lebih dapat memahami dan merasakan terkait ketimpangan jumlah dokter gigi khususnya di daerah pelosok Indonesia (Irfan dan Wibowo, 2021).